Tuesday, November 22, 2011


Isi Khutbah
Saat ini kita kembali memasuki bulan-bulan yang dimuliakan dalam Islam. Bulan-bulan yang dimuliakan dalam islam syarat dengan muatan spiritual. Disamping ada ibadah-ibadah khusus yang dianjurkan, bulan-bulan ini pada umumnya dilatarbelakangi oleh peristiwa besar. Khususnya pada bulan Rajab ini, bulan di mana telah terukir dalam sejarah suatu peristiwa besar yang amat bersejarah bagi perjalanan spiritual seorang hamba, yaitu apa yang kita kenal dengan peristiwa Isra Mi’raj Nabi Muhammad Saw. Peristiwa ini terlukis dalam al-Qur’an surat  Bani Israil ayat 1.
Peristiwa Isra Mi’raj merupakan perjalanan horizontal yang dilanjutkan dengan perjalanan vertikal Nabi Saw. yang bersifat spiritual. Kenapa disebut perjalanan spiritual ? karena karena perjalanan ini adalah symbol perjalanan hamba Allah ke puncak/makam tertinggi singgasana rububiyah ‘sidratul muntaha’. Dikatakan sipiritual karena perjalanan ini jelas melibatkan ruh dan jasad Nabi Saw. Karena yang dimaksud dengan spiritual adalah sisi esensial manusia yang hanya bisa tumbuh menjadi dewasa lewat perilaku yang bersifat eksistensial (KH. Muhammad Zuhri). Maka tinggalkanlah perdebatan mengenai apakah peristiwa Isra Mi’raj adalah perjalanan Nabi yang hanya bersifat ruhiyah tidak jasadiyah?. Jelas jika mengacu pada pengertian spiritual di atas, perjalanan Isra Mi’raj adalah perjalanan yang melibatkan ruh dan jasad. Itu artinya bahwa perjalanan Isra Mi’raj Nabi ini merupakan symbol bahwa tinggi nilai spiritual seorang hamba tidak terdapat dalam ranah imajinasi apalagi teori, melainkan sejauh mana hamba tersebut melibatkan fisik/jasadnya dalam pengabdian/beribadah kepada Allah Swt. Tegasnya, bukan cuma teori tapi praktek, tidak hanya mengasai ilmunya tapi harus disertai dengan amaliyah nyata. Tentunya amaliyah yang kecil atau sedikit dan di’wiridkan’ setiap hari akan jauh lebih bernilai spiritual dari pada pengetahuan tinggi tapi tidak disertai dengan amal.
Isra Mi’raj, sesuai dengan representasinya yang menyimbolkan kesempurnaan perjalanan horizontal dan vertikal seorang hamba, maka menjadi hamba sempurna tentunya yang senanatiasa meningkatkan kualitas hubungan horizontalnya kepada sesama manusia dan lingkungannya dan senantiasa pula memelihara ubudiyahnya kepada Allah Swt.
Keterlibatan nyata ruh dan jasad dalam mengemban amanah Allah sebagai khalifahNya, dapat terlihat dari seberapa besar sudah sumbangsih yang telah kita berikan untuk kemanusiaan dan kemaslahatn sosial dan sejauh mana pengorbanan kita unutuk sesama lebih diutamakan dari kepentingan dirinya sendiri. Sebagaimana tergambar dalam perilaku generasi awal islam dalam pola hubungan kaum muhajirin dan anshor :
وَالَّذِينَ تَبَوَّءُو الدَّارَ وَاْلإِيمَانَ مِن قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلاَيَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِّمَّآ أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka.Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri.Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. 59:9)
Ayat di atas bisa kita jadikan teladan bagaimana membangun pola hubungan horizontal yang seharusnya secara sipiritual. Seperti kaum muhajirin dan Anshor, saling memberikan terhadap apa yang menjadi kebutuhan mereka, terlihat pengorbanan mereka lebih mementingkan kepentingan orang lain dari pada kepentingan diri mereka sendiri. Begitupun yang telah menjadi akhlaq Nabi yang tidak pernah membiarkan seseorang pulang dengan tangan hampa setelah mengunjungi beliau dan meminta sesuatu. Betapa sikap sosial yang spiritual harus juga kita ‘wiridkan’ dalam praktek keseharian kita, saling member tanpa pamrih kepada orang yang membutuhkan.
Lalu bagaimana membangun pola hubungan vertikal kepada Allah Swt. ? Mengacu kepada arti spiritual diawal pembahasan, tentunya ibadah vertikal kepada Allah juga mutlak melibatkan jasad/fisik. Kita memang harus menempuh ritual-ritual yang di sunahkan apalagi diwajibkan, pendeknya ibadah juga harus capek. Bangun tengah malam untuk melaksanakan sholat tahajud adalah satu pengorbanan fisik manakala saat waktunya tubuh beristirahat. Puasa adalah pengorbanan fisik saat siang hari tubuh seharusnya disuplai makanan. Demikian juga haji dan sebagainya sungguh merupakan pengorbanan fisik yang luar biasa demi menggapai martabat spiritual tinggi dalam kehadirat ridha Allah Swt.
Berikut akan kita baca dialog dari seorang ‘wara’ Isam bin Yusuf dengan gurunya seorang sufi ternama Hatim al-Asham dalam upayanya menggapai martabat spiritual tinggi lewat praktek ubudiyah.
Suatu hari, Isam menghadiri pengajian yang diajarkan Hatim al-Asham. Isam bertanya kepada Hatim, “wahai Abu Abdurahman, bagaimanakah cara anda sholat?” Hatim menjawab, “apabila waktu sholat telah tiba, maka aku berwudhu secara lahir dan batin.” Isam bertanya lagi. Bagaiamanakah wudhu batin itu?” “Jikalau wudhu lahir adalah membersihkan anggota wudhu sebagaimana yang diajarkan al-qur’an dan hadits Nabi Saw.  Sedangkan wudhu batin itu, kata Hatim membasuh anggota badan dengan tujuh cara, yakni (1) senantiasa bertobat kepada Allah atas segala dosa; (2) kemudian menyesali segala dosa-dosa yang dikerjakan dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi; (3) membersihkan diri dari cinta dunia; (4) menghindarkan diri dari segala pujian manusia; (5) meninggalkan sifat bermegah-megah; (6) tidak berkhianat dan menipu; (7) serta menjauhi perbuatan iri dengki. “Kemudian aku pergi ke masjid, lalu kuhadapkan wajahku kearah kiblat dan hatiku kepada Allah. Selanjutnya, aku berdiri dengan penuh rasa malu dihadapan Allah. Aku bayangkan bahwa Allah ada dihadapanku dan sedang mengawasiku. Sementara surga ada disebelah kananku, neraka disebelah kiriku, malaikat maut dibelakangku. Dan aku membayangkan pula, seolah-olah aku berada di atas jembatan shirat al-Mustaqim. Dan aku anggap sholat yang aku kerjakan adalah sholat terakhir bagiku.”Kemudian aku betakbir, dan setiap bacaan dalam sholat senantiasa aku pahami maknanya. Aku juga rukuk da sujud dengan menganggap diriku sebagai makhluk yang paling kecil  dan tak punya kemampuan apapun dihadapan Allah. Selanjutnya aku akhiri dengan tasyahud dengan penuh penghambaan dan pengharapan kepada Allah, lalu aku memberi salam. Demikianlah sholatku selama 30 tahun terakhir ini,” ujar Hatim.
Demikainlah sekelumit kisah yang menggambarkan sifat ibadah seorang sufi besar dalam upaya menggapai martabat sipiritual dihadapan Allah Swt. Betapa usia manusia teramat singkat dengan perjalanan menuju singgasananya yang teramat jauh tak bertepi. Dan bagaimana digambarkan perjalanan malaikat menghadap Allah selama 50 ribu tahun perjalanan.
تَعْرُجُ الْمَلاَئِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Rabb dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun. (QS. 70:4)

 Betapa mengisyaratkan bahwa untuk mencapai ridha Allah, harus letih dan susah payah. Maka sejatinya tidak lagi ada alasan bagi manusia untuk menunda berbuat baik sedetikpun.

 Khutbah I

اَلْحَمْدُ للهِ الّذِىْ اَكْرَمَ مَنِ اتَّقَى بِمَحَبَّتِهِ, وَاَوْعَدَ مَنْ خَالَفَهُ بِغَضَبِهِ وَعَذَابِهِ, اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَاَنَّ سَيْدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اَرْسَلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلى الدِّيْنِ كُلِّهِ. اللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيْدِنَا مُحَمَّدٍ رَسُوْلِ اللهِ وَخَيْرِ خَلْقِهِ, وَعَلَى الِهِ وَصَحْبِهِ الَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِى سَبِيْلِهِ. اما بعد : فَيَااَيُّهَاالنَّاسُ اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ اِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. 
Khutbah II

اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِى اَمَرَنَا بِالاتِّحَادِ وَاْلاِعْتِصَامِ بِحَبْلِ اللهِ الْمَتِيْنَ. اَشْهَدُ اَنْ لاَّ ِالهَ ِالاَّ للهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ اِيَّاهُ نَعْبُدُ وَاِيَّاهُ نَسْتَعِيْنَ, وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمّدً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْمَبْعُوْثُ رَحْمَةً لِّلْعَالَمِيْنَ. اَلّلهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ علَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى الِهِ وَاَصْحَابِهِ اَجْمَعِيْنَ. اَمَّا بَعْدُ : فَيَا عِبَادَالله اِتَّقُ اللهَ تَعَالَى رَبَّ الْعَالمَِيْنَ. وَسَارِعُوْ اِلى مَغْفِرَةِ اللهِ الْكَرِيْمِ. وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَلَى بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَنَّى بِمَلاَئِكَتِهِ الْمُسَبِّحَةِ بِقُدْسِهِ فَقَالَى فِى كِتَابِهِ الْعَزِيْز. اِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتِهِ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِى يَااَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا.اَلّلهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اَلاْحْيَاءِ مِنْهُمُ اْلاَمْوَاتِ اِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُّجِيْبُ الدَّعْوَاتِ رَبَّنَا اتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلاَخِرَةِ حَسَنَهً وَّقِنَا عَذَابَ النَّارِ. عِبَادَالله, اِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَلاِْحْسَانَ وَاِيْتَائِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَخْشَاءِ وَالْمُنْكَرْ وَالْبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوْا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاسْئَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَلَذِكْرُاللهَ اَكْبَرَ وَاللهُ يَعْلَمُ مَا يَصْنَعُوْنَ اَقِيْمُوا الصَّلوةَ.

1 comment:

  • RSS
  • Delicious
  • ini apa
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube