Thursday, September 22, 2016

Isi Khutbah

Ritual agama dan spiritualitas. Baru saja kita melewati momen besar dalam hidup keberagamaan kita. Yaitu pelaksanaan Ibadah Haji dan penyembelihan hewan qurban. Hal mana kita sudah sama-sama mengetahui bahwa pelaksanaan ibadah Haji dan qurban ini dilatarbelakangi oleh peristiwa sejarah yang besar bagi umat manusia khususnya pemeluk agama-agama samawi termasuk kita umat Islam.

Ritual-ritual yang ada dalam pelaksanaan ibadah haji dan penyembelihan hewan qurban adalah napak tilas dari sejarah besar itu. Sarat makna-makna simbolik, ritual dalam ibadah haji dan qurban semuanya memberikan pelajaran akan sikap hidup yang lurus/hanif dalam beragama, yaitu kesadaran yang dalam akan keilahian. Kesadaran akan dari mana kita berasal. Kita berasal dari ‘rumah’ keabadian, rumah Tuhan dan akan kembali pulang ke pangkuanNya. Baitullah menggambarkan bagaimana kita akan selalu merindukan rumah tempat kita berasal. Sang penghuni rumah adalah juga sang penghuni hati, hati nurani yang terdalam tempat bersemayam nilai-nilai luhur kebajikan, cermin wajah Tuhan  yang senantiasa mereflesikan wajah dan perilaku ke-Tuhan-an, berupa cinta dan pengorbanan.
Ibrahim dan Ismail a.s adalah sosok yang merepresentasikan dan mendedikasikan cinta dan pengorbanan itu. Sepanjang hidupnya, Ibrahim selalu membangun ruhani (spiritualitas) bukan bangunan materi atau fisikal. Hal ini telah dibuktikan lewat pengorbanan yang terbesar dalam hidupnya-pengorbanan putranya Ismail telah lulus ia lakoni sebagai totalitas ketaatan terhadap perintah Tuhan. Perintah untuk mengorbankan dan menanggalakan keduniawian yang akan menjadi penghalang dan selalu merintangi jalan sejati hidup manusia menuju rumah keabadian.
Jamaah Sholat Jumat yang dirahmati Allah
 Agama sejatinya ingin mengembalikan manusia ke dalam alam spiritualitas, tempat manusia berasal. Hakikatnya manusia adalah makhluk ruhani. Makhluk yang syarat dengan muatan spiritual. Seperti dikatakan oleh Teilhard de Chardin,”kita bukanlah makhluk manusia yang memiliki pengalaman spiritual, melainkan kita adalah makhluk spiritual yang menjalani pengalaman manusia. Maka tidak ada satupun aktifitas hidup manusia yang lepas dari dimensi spiritual. Segala apa yang kita kerjakan atau lakukan harus berorientasi kepada keTuhanan. Jasad yang membungkus diri ini tak lebih dari kendaraan untuk menggali makna-makna spiritualitas dalam hidup kita, bukan malah jasad ini malah justru  menjauhkan bahkan menjerumuskan sisi spiritualitas yang kita miliki.
Demikian juga dengan perbuatan dengan katagori ‘ibadah’, alih alih ibadah meningkatkatkan spiritualitas, tetapi  justru kehilangan nilai spiritualitasnya. Ibadah yang kehilangan nilai spiritualitasnya adalah ibadah yang terjebak pada formalisme dengan megabaikan kedalaman makna yang dikandungnya. Ibadah yang terdapat di dalamnya ada unsur riya. Ibadah yang lebih sibuk mengurusi pelaksanaan yang seremonial, dibarengi dengan sikap kurang menerima perbedaan, merasa benar terhadap praktek ibadah yang dijalankannya dan menyalahkan praktek ibadah orang lain. Kita sibuk mencari pembenar apa yang kita jalankan dan mencari-cari kelemahan orang lain.
Belum lagi kalau formalisme ini kita bawa ke ranah politik, maka yang muncul adalah pemahaman-pemahanan ideologis yang memicu fron-front konflik antar kelompok baik antar pemeluk agama maupun sesama pemeluk agama. Jika ini terjadi maka tindakan kekerasan dan teror dinisbahkan kepada atas nama keyakinan dan ajaran agama. Fenomena ini sudah kita rasakan saat ini, kekerasan-kekerasan atas nama agama sudah banyak terjadi. Agama kehilangan elan vitalnya sebagai pembawa rahmat (kasih sayang) bagi alam semesta. Kekerasan dalam agama kemudian menjadi salah satu pembunuh yang signifikan dalam perjalanan peradaban umat manusia.
Jamaah sholat Jumat yang dirahmati Allah
Maka marilah kita kembalikan agama pada posisinya yang agung dan mulia yang memandu manusia meniti jalan ruhani. Jalan yang memandu manusia kepada moral yang tinggi, yang memberikan energi manusia untuk selalu dalam jalur kebajikan. Sementara aspek-aspek ibadah yang dijalankannya merupakan ritus-ritus yang memberikan pelajaran simbolik untuk meneguhkan aspek batin dalam kehidupan manusia. Termasuk halnya ibadah qurban.
لَن يَنَالَ اللهَ لُحُومُهَا وَلاَدِمَآؤُهَا وَلَكِن يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَاهَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ
daging-daging dan darah (hewan qurban) tak sekali-kali dapat mencapai Allah, tetapi ketaqwaanmulah yang akan mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidaya-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada oang-orang yang berbuat baik. (Q.S.22:37)
Dalam ayat ini sekali lagi ingin ditegaskan bahwa nilai esensial ritual ibadah bukan terletak pada gerak dan tatacara pelaksanaannya melainkan muatan spiritual yang di kandungnya. Seberapa besar pengaruh ibadah pada penerapan moralitas seseorang dalam pergaulan hidupnya. Bagaimana ia menerapkan nilai-nilai cinta dan pengorbanan terhadap sesamanya. Ibadah bukan malah memupuk pandangan-pandangan ekstrim yang menjurus pada intoleransi dalam hidup antar pemeluk agama maupun antar sesama agama. Kalau ini yang terjadi patut dipertanyakan motivasi kita dalam beragama.
Bukan juga orang yang hanya mementingkan sisi batin dari ibadah dengan mengabaikan ritual dan tatacara pelaksanaan ibadah. Hal ini juga merupakan kekeliruan yang fatal, karena kematangan spiritual merupakan hasil dari perpaduan sisi esensial dengan perilaku yang eksistensial. Tidak mungkin seseorang akan mencapai ketaqwaan tanpa menjalankan ritual sholat, puasa, zakat atau haji dan qurban yang ditentukan syariat. Apa yang ditawarkan agama tidak mungkin menegasikan satu diantara dua sisi; sisi batin dan zahir. Amal-amal simbolik adalah latihan memperkuat spiritual atau ruhani; apatah lagi perbuatan nyata dalam kehidupan kita, seluruhnya harus didasarkan dan diorientasikan pada nilai-nilai spiritualitas. Keduanya harus jalan berkelindan sebagaimana cabe dengan rasa pedasnya, gula dengan rasa manisnya, ruh dan jasadnya, tak terpisahkan selama kita masih hidup di alam dunia ini. Itulah perjalanan hidup manusia, seutuhnya adalah perjalanan ruhani, perjalanan menuju kepada keabadian, perjalanan menuju Allah swt.
Apabila ditengah perjalanan kita malah dipengaruhi hasrat materi, berarti ada yang harus diluruskan menyangkut niat dan motivasi sebelum kita terlalu jauh terjerembab dalam kegelapan hingga kita tesesat jalan.

0 komentar:

Post a Comment

  • RSS
  • Delicious
  • ini apa
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube