Tuesday, September 17, 2013

Menggagas Revolusi Diri Dalam Ritual Haji

Posted by KHUTBAH | 6:15 PM Categories: , ,


Isi Khutbah
Jamaah sholat Jum’at yang berbahagia
Saat ini  kita berada pada bulan Dzul Qo’dah, bulan kesebelas dalam bulan qomariah, satu dari 4 bulan yang disebut sebagai Asyhurul haram, dan satu dari 3 bulan yang disebut sebagai Asyhurul ma’lumat. Disebut Dzul Qo’dah karena mereka ‘yaq’uduuna fiihi ‘anilasfaar wal qitaal isti’daadan liihram bilhajji (mereka duduk tingal di rumah tidak melakukan perjalanan maupun peperangan sebagai persiapan untuk melakuka ihram haji. Pada hari ini kita saksikan bersama persiapan dan pemberangkatan para calon jamaah haji di lingkungan kita masing-masing.

Jamaah sholat Jum’at yang berbahagia
Ibadah haji merupakan momen ritual terbesar umat beragama se dunia. Setiap tahunnya bisa dikunjungi oleh jutaan umat islam berbagai belahan dunia   يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ- yang datang dari berbagai penjuru yang jauh. Secara syariat, haji adalah ibadah pamungkas, penyempurna dari ibadah-ibadah lainnya dalam rukun islam, satu-satunya ibadah dalam rukun islam yang melibatkan 2 unsur sekaligus, yaitu jasmaniah (fisik) dan maliah (harta). Ibadah-ibadah yang lainnya seperti sholat dan puasa hanya melibatkan unsur jasmaniah saja, sementara zakat hanya melibatkan unsur maliah saja. Akan tetapi  haji, melibatkan keduanya sekaligus; dibutuhkan kekuatan dan kesehatan fisik yang prima (secara jasmaniah) serta harus ditunjang dengan kemampuan biaya yang besar (secara maliah).
Dan secara filosofi, ibadah haji adalah puncak perjalanan spiritual seorang hamba. Seorang yang pulang dari tanah suci habis menunaikan ibadah haji sejatinya telah berada pada tahap spiritual yang purna. Bertambah bagus akhlaqnya, bertambah arif dan bijak dalam tutur katanya, bertambah semangat hidupnya, semakin rela berkorban dan dermawan terhadap sesama. Dengan berhaji, revolusi individu berupa penggarapan diri secara terus-menerus dianggap telah selesai, dan bersiaplah untuk menyongsong revolusi sosial yaitu merespon dan memberi solusi terhadap persoalan-persoalan keumatan yang stagnan dan carut-marut.
Jamaah sholat Jum’at yang berbahagia
Sebagaimmana halnya tawaf, berputar mengelilingi ka’bah adalah melambangkan bahwa hidup ini dalam satu aspek hanyalah berputar dari itu ke itu saja, menjalankan rutinitas hidup yang senantiasa berulang, dari bangun tidur, makan, pergi bekerja, pulang istirahat, tidur lagi dan bangun kembali, terus menerus seperti itu, seolah setiap harinya kita hanya bekutat dalam aktifitas yang sama. Tetapi kita tidak pernah merasa bosan dengan rutinitas tersebut-bahkan kita cenderung menyayangi kehidupan ini karena kita temukan kenikmatan-kenikmatan di dalamnya. Namun seyogyanya, rutinitas hidup tersebut harus dibarengi dengan motivasi meraih kemungkinan-kemungkinan yang lebih tinggi nilainya dari pada sekedar berputar-putar pada aktifitas yang sama. Yang dimaksud dengan nilai-nilai yang lebih tinggi di sini adalah berupa nilai kecerdasan, nilai moral atau nilai spiritual.. Contohnya, apa yang dikerjakan hari ini boleh jadi sama dengan apa yang dikerjakan hari kemarin. Akan tetapi nuansa batin bekerja hari ini akan jauh lebih berbobot apabila disertai dengan niat yang ikhlas, dengan sepenuh hati mencintai pekerjaan serta berorientasi pada pengabdian untuk kehidupan dibanding bekerja yang kemarin dengan  hati yang berat serta orientasinya hanya untuk mencapai target pekerjaan selesai, lepas tanggung jawab, dsb.
Begitulah kualitas hidup akan ditentukan oleh sejauh mana kita mencanangkan sesuatu yang lebih tinggi nilainya walaupun masih dalam aktifitas dan rutinitas yang sama. Dan di sinilah sa’i salah satu ritual haji akan menemukan momentumnya. Sementara tawaf adalah perjalanan berputar-melingkar, sa’i adalah perjalanan linier, lurus kedepan yang melambangkan bahwa hidup ini tidak selalu berputar dari itu ke itu, tapi terkadang berjalan lurus kedepan seperti perjalanan sejarah yang senantiasa mencari bentuknya yang lebih baik untuk satu pencapaian pada tarap sempurna. Begitulah perjalanan-perjuangan Siti Hajar berlari 7 kali balik dari bukit Safa ke bukit Marwa untuk mendapatkan sesuatu yang sangat berharga yaitu air untuk putranya Ismail yang masih bayi di tengah gurun pasir yang tandus.
Perjalanan Siti Hajar ini tentunya akan selalu menginspirasi bahwa hidup harus senantiasa optimis di dalam mengupayakan sesuatu yang menjadi cita-cita. Siti Hajar adalah cermin bahwa ia selalu berusaha aktual pada setiap niat dan motivasinya. Siti Hajar adalah pribadi yang tegar walau dalam cengkraman kebuntuan sejarahnya. Sebaliknya, ia tidak terbawa arus atau tenggelam dalam determinasi budaya yang mengungkungnya. Ia lah yang memecah kebuntuan dan mencairkan kebekuan, lewat upayanya sampai pada titik akhir pengharapan dan kepasrahannya, akhirnnya Tuhan memberikan jalan keluar baginya.
Jamaah Sholat Jum’at yang berbahagia
Satu lagi ritual haji yang terpenting adalah wukuf di Arafah, yaitu berhenti, berdiam sejenak di suatu tempat di padang Arafah. Tesis Muhammad Zuhri mengemukakan bahwa wukuf ini adalah penyatuan dari tawaf dan sa’i. Hal ini menggambarkan bahwa hidup tidak hanya berputar atau hanya berjalan linier, lurus ke depan, melainkan kita harus berhenti dalam satu titik. Titik tersebut yang kita kenal dengan Arafah, yaitu manakala kita berada pada kondisi ma’rifat-suatu kondisi mengenal Allah lebih dekat dan Allah juga mengenal kita. Melalui titik inilah pola perjalanan hamba membentuk pola perjalanan spiral, yaitu berjalan berputar dan melingkar akan tetapi tidak berputar di tempat yang sama, melainkan berjalan terus semakin membentuk pola lingkaran yang besar. Itu artinya, orang yang sudah berada pada tahap ma’rifah, harus menghayati hidup ini meskipun terkesan berputar dan berulang tapi pada hakikatnya ia akan selalu menemukan nilai baru dalam hidupnya yang lebih kekal dan abadi. Pengorbanannya semakin besar, perilakunya dari hari ke hari semakin baik tidak pernah surut ke belakang. Pola perjalanan spiral ini adalah juga pola perjalanan galaksi-galaksi pada alam semesta. Dan ini yang akan menghantarkan kita ke hadratur-rabbani, di tempat seseorang memiliki potensi rabbaniyah (setiap do’a dan permintaannya dikabulkan). Oleh karena itulah maka haji mabrur disetarakan dengan tahap seseorang dalam kondisi ma’rifah, tahapan spiritual yang paling tinggi, setelah melewati syari’ah, tariqah, dan hakikat.

0 komentar:

Post a Comment

  • RSS
  • Delicious
  • ini apa
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube