Isi Khutbah
Jamaah sholat Jum’at yang berbahagia
Saat ini kita berada pada bulan Dzul
Qo’dah, bulan kesebelas dalam bulan qomariah, satu dari 4 bulan yang disebut
sebagai Asyhurul haram, dan satu dari 3 bulan yang disebut sebagai Asyhurul
ma’lumat. Disebut Dzul Qo’dah karena mereka ‘yaq’uduuna fiihi
‘anilasfaar wal qitaal isti’daadan liihram bilhajji (mereka duduk tingal di
rumah tidak melakukan perjalanan maupun peperangan sebagai persiapan untuk
melakuka ihram haji. Pada hari ini kita saksikan bersama persiapan dan
pemberangkatan para calon jamaah haji di lingkungan kita masing-masing.
Jamaah sholat Jum’at yang berbahagia
Ibadah haji merupakan momen ritual terbesar umat beragama se dunia. Setiap
tahunnya bisa dikunjungi oleh jutaan umat islam berbagai belahan dunia يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ- yang datang dari
berbagai penjuru yang jauh. Secara syariat, haji adalah ibadah pamungkas,
penyempurna dari ibadah-ibadah lainnya dalam rukun islam, satu-satunya ibadah dalam
rukun islam yang melibatkan 2 unsur sekaligus, yaitu jasmaniah (fisik) dan maliah
(harta). Ibadah-ibadah yang lainnya seperti sholat dan puasa hanya melibatkan
unsur jasmaniah saja, sementara zakat hanya melibatkan unsur maliah
saja. Akan tetapi haji, melibatkan
keduanya sekaligus; dibutuhkan kekuatan dan kesehatan fisik yang prima (secara jasmaniah)
serta harus ditunjang dengan kemampuan biaya yang besar (secara maliah).
Dan secara filosofi, ibadah haji adalah puncak perjalanan spiritual
seorang hamba. Seorang yang pulang dari tanah suci habis menunaikan ibadah haji
sejatinya telah berada pada tahap spiritual yang purna. Bertambah bagus
akhlaqnya, bertambah arif dan bijak dalam tutur katanya, bertambah semangat
hidupnya, semakin rela berkorban dan dermawan terhadap sesama. Dengan berhaji,
revolusi individu berupa penggarapan diri secara terus-menerus dianggap telah
selesai, dan bersiaplah untuk menyongsong revolusi sosial yaitu merespon dan
memberi solusi terhadap persoalan-persoalan keumatan yang stagnan dan
carut-marut.
Jamaah sholat Jum’at yang berbahagia
Sebagaimmana halnya tawaf, berputar mengelilingi ka’bah adalah
melambangkan bahwa hidup ini dalam satu aspek hanyalah berputar dari itu ke itu
saja, menjalankan rutinitas hidup yang senantiasa berulang, dari bangun tidur, makan,
pergi bekerja, pulang istirahat, tidur lagi dan bangun kembali, terus menerus
seperti itu, seolah setiap harinya kita hanya bekutat dalam aktifitas yang
sama. Tetapi kita tidak pernah merasa bosan dengan rutinitas tersebut-bahkan
kita cenderung menyayangi kehidupan ini karena kita temukan
kenikmatan-kenikmatan di dalamnya. Namun seyogyanya, rutinitas hidup tersebut
harus dibarengi dengan motivasi meraih kemungkinan-kemungkinan yang lebih tinggi
nilainya dari pada sekedar berputar-putar pada aktifitas yang sama. Yang
dimaksud dengan nilai-nilai yang lebih tinggi di sini adalah berupa nilai
kecerdasan, nilai moral atau nilai spiritual.. Contohnya, apa yang dikerjakan
hari ini boleh jadi sama dengan apa yang dikerjakan hari kemarin. Akan tetapi nuansa
batin bekerja hari ini akan jauh lebih berbobot apabila disertai dengan niat
yang ikhlas, dengan sepenuh hati mencintai pekerjaan serta berorientasi pada
pengabdian untuk kehidupan dibanding bekerja yang kemarin dengan hati yang berat serta orientasinya hanya
untuk mencapai target pekerjaan selesai, lepas tanggung jawab, dsb.
Begitulah kualitas hidup akan ditentukan oleh sejauh mana kita mencanangkan
sesuatu yang lebih tinggi nilainya walaupun masih dalam aktifitas dan rutinitas
yang sama. Dan di sinilah sa’i salah satu ritual haji akan menemukan
momentumnya. Sementara tawaf adalah perjalanan berputar-melingkar, sa’i
adalah perjalanan linier, lurus kedepan yang melambangkan bahwa hidup
ini tidak selalu berputar dari itu ke itu, tapi terkadang berjalan lurus
kedepan seperti perjalanan sejarah yang senantiasa mencari bentuknya yang lebih
baik untuk satu pencapaian pada tarap sempurna. Begitulah perjalanan-perjuangan
Siti Hajar berlari 7 kali balik dari bukit Safa ke bukit Marwa untuk
mendapatkan sesuatu yang sangat berharga yaitu air untuk putranya Ismail yang
masih bayi di tengah gurun pasir yang tandus.
Perjalanan Siti Hajar ini tentunya akan selalu menginspirasi bahwa hidup
harus senantiasa optimis di dalam mengupayakan sesuatu yang menjadi cita-cita.
Siti Hajar adalah cermin bahwa ia selalu berusaha aktual pada setiap niat dan
motivasinya. Siti Hajar adalah pribadi yang tegar walau dalam cengkraman
kebuntuan sejarahnya. Sebaliknya, ia tidak terbawa arus atau tenggelam dalam
determinasi budaya yang mengungkungnya. Ia lah yang memecah kebuntuan dan
mencairkan kebekuan, lewat upayanya sampai pada titik akhir pengharapan dan
kepasrahannya, akhirnnya Tuhan memberikan jalan keluar baginya.
Jamaah Sholat Jum’at yang berbahagia
Satu lagi ritual haji yang terpenting adalah wukuf di Arafah, yaitu
berhenti, berdiam sejenak di suatu tempat di padang Arafah. Tesis Muhammad
Zuhri mengemukakan bahwa wukuf ini adalah penyatuan dari tawaf
dan sa’i. Hal ini menggambarkan bahwa hidup tidak hanya berputar atau
hanya berjalan linier, lurus ke depan, melainkan kita harus berhenti dalam satu
titik. Titik tersebut yang kita kenal dengan Arafah, yaitu manakala kita berada
pada kondisi ma’rifat-suatu kondisi mengenal Allah lebih dekat dan Allah
juga mengenal kita. Melalui titik inilah pola perjalanan hamba membentuk pola
perjalanan spiral, yaitu berjalan berputar dan melingkar akan tetapi
tidak berputar di tempat yang sama, melainkan berjalan terus semakin membentuk
pola lingkaran yang besar. Itu artinya, orang yang sudah berada pada tahap ma’rifah,
harus menghayati hidup ini meskipun terkesan berputar dan berulang tapi pada
hakikatnya ia akan selalu menemukan nilai baru dalam hidupnya yang lebih kekal
dan abadi. Pengorbanannya semakin besar, perilakunya dari hari ke hari semakin
baik tidak pernah surut ke belakang. Pola perjalanan spiral ini adalah juga pola
perjalanan galaksi-galaksi pada alam semesta. Dan ini yang akan menghantarkan
kita ke hadratur-rabbani, di tempat seseorang memiliki potensi rabbaniyah
(setiap do’a dan permintaannya dikabulkan). Oleh karena itulah maka haji mabrur
disetarakan dengan tahap seseorang dalam kondisi ma’rifah, tahapan
spiritual yang paling tinggi, setelah melewati syari’ah, tariqah, dan hakikat.
0 komentar:
Post a Comment