Isi Khutbah
Jum’at
ini adalah Jum’at pertama di bulan Syawal, tepatnya adalah tanggal 6 Syawal
1433 H, masih dalam suasana bahagia bagi umat islam, suasana berlebaran, Hari
Raya Idul Fitri, suasana saling bersilaturahmi dan saling memaafkan antar
sesama setelah berpuasa 1 bulan lamanya di bulan Ramadhan. 6 hari berlalu pada
bulan syawal ini tentunya masih membekas kesan yang mendalam saat ruhani
menemukan kepuasannya selama menjalankan ibadah puasa, saat puncak keharuan
pada malam takbiran, saat senyum merekah tulus menyertai jabat tangan pada
keluarga, sanak saudara, kerabat atau tetangga.
Tidak
akan kita biarkan berlalu dengan sia-sia sebuah masa atau peristiwa tanpa
terlebih dahulu akan kita petik berbagai hikmah, I’tibar, atau pelajaran,
yang ada di dalamnya. Ramadan dan hari raya ini tentunya, ada beberapa hikmah
yang dapat khotib rangkum di sini, diantaranya:
1.
Puasa melahirkan jiwa baru.
Cukup
bagi Allah 1 bulan lamanya dalam setahun untuk mereformasi manusia dari segenap
aspeknya, menjadi pribadi yang kembali kepada fitrahnya, kembali kepada
jalan lurus agamanya. Ada rahasia besar yang direncanakan Tuhan kepada hambaNya
selama berpuasa yaitu keniscayaan terjadinya perubahan; perubahan yang terjadi
pada diri hamba bagi yang benar-benar memahaminya; boleh jadi perubahan
sikapnya, perubahan pola pikirnya, perubahan gaya hidupnya, bertambah
motivasinya dan luhur orientasi hidupnya dan lain sebagainya. Dan yang pasti,
dengan berpuasa 1 bulan, Allah ingin melanggengkan dan melestarikan makhlukNya.
Mengapa demikian? Hal mana Allah telah memberikan ilustrasi kongritk bagi
sebagian kehidupan hewan, betapa dengan berpuasa kelangsungan hidup tetap
lestari. Contohnya apa yang terjadi pada ayam, sang induk ayam butuh waktu 21
hari berpuasa, mengerami telurnya, untuk melahirkan keturunannya atau generasi
barunya. Kemudian apa yang kita kenal masa-masa shedding (ganti kulit)
pada ular. Ular butuh waktu sekitar 1 minggu berpuasa saat ia ingin meremajakan
kulitnya, mengelupas kulit yang lama berganti kulit yang baru agar tetap
terjaga elastisitas dan kelenturannya dalam bergerak. Demikian juga apa yang
terjadi pada proses metamorphose kupu-kupu. Butuh waktu 10 hari bagi sang
ulat yang hina dan menjijikan, lagi merusak, terbungkus dalam kepompong untuk
kemudian berubah menjadi makhluk yang cantik, bisa terbang, dan berguna bagi
tanaman dalam proses perkembangbiakannya, ialah bernama kupu-kupu. Itulah makna
puasa pada hewan yang ber-efek pada kelestarian dan kelangsungan hidup hewan
tersebut. Bagaimana dengan manusia yang berpuasa selama 1 bulan? Dalam sebuah
hadits qudsi, Allah swt berfirman: “barang siapa yang berpuasa untukKu, maka
Aku ganti otaknya dengan otak yang baru, tulangnya dengan tulang yang baru,
darahnya dengan darah yang baru”. Demikianlah hikmah atau filosofi puasa yang
dijalankan bagi umat islam yaitu akan melahirkan jiwa baru. Maka tidaklah
berlebihan sabda Nabi yang menyatakan bahwa di hari raya ini, umat islam yang
berpuasa seperti bayi yang baru dilahirkan. Sejatinya manusia mendapatkan
perubahan besar dalam hidupnya setelah Ramadhan berpuasa. Dan saat hari raya
ini adalah momen terbaik manakala kita menatap optimis masa depan kita bahwa
hari esok akan lebih baik dari hari yang sekarang.
Jamaah
Sholat Jum’at yang berbahagia
2.
Silaturahmi, momen refleksi dan empati
Sebuah
tradisi yang amat membanggakan bagi kaum muslim ketika berhari raya lebaran
adalah tertanamnya tradisi silaturahmi dalam arti saling bertemu atau
mengunjungi antar sesama keluarga, kerabat atau teman. ada banyak sejatinya
hikmah dari saling bersilaturahmi di hari raya ini, diantaranya adalah:
pertama, silaturahmi dapat membuka wawasan baru. Dengan bertemunya antar teman
atau kerabat yang sudah lama tak bertemu, tentu ada banyak hal yang akan saling
dikemukakan; saling berbagi informasi, bertukar pengalaman dan fikiran tentu
akan memperkaya pengetahuan dan wawasan kita dalam beragam bidang. Kondisi,
situasi atau keadaan teman atau kerabat kita saat ini akan menjadi cermin dan
sumber refleksi bagi diri kita betapa diri ini masih penuh dengan kekurangan
yang harus segera diperbaiki. Yang kedua dari hikmah silaturahmi adalah bahwa
silaturahmi melahirkan empati. Silaturahmi sebagaimana arti asal katanya,
“menyambung kasih sayang”, berarti kita harus menjadikan momen pertemuan kepada
sesama sebagai momen untuk merajut atau menebarkan kasih sayang. Prinsipnya,
selalu melihat kebawah tidak ke atas, tangan di atas lebih baik dari pada
tangan di bawah. Apabila kita temukan orang yang sedang membutuhkan
pertolongan, maka ulurkan tangan kita untuk ikhlas menolongnga. Apabila kita
temui orang yang sedang sakit, sudikan diri kita untuk mewarkan obat atau mengantarkannya
berobat. Apabila kita temui orang yang tidak memiliki pengetahuan, maka sudikah
kiranya kita dapat mengajarinya. Demikianlah beberapa contoh makna silaturahmi
yang seharusnya sebagaimana misi nabi saw. wa maa arsalnaaka illa
rahmatallil’alamiin, dan tidak Ku utus engkau Muhammad kecuali menjadi
rahmat bagi semesta alam. Dan sebagaiamna juga sabda Nabi saw: irhamuu maa
fil ardhi wa sayarhamu man fii assamaa-sayangilah apa yang ada di bumi
niscaya apa yang ada di langit akan menyayangimu.
Jamaah
Sholat Jum’at yang berbahagia
3.
Saling memaafkan
Terlepas
dari kesan formal berjabat tangan dan ucapan kata maaf dibibir kita, ada kesan
mendalam yang ingin kita ungkapkan sebagaimana firman Allah dalam surat Ali
Imron ayat 133-134 :
وَسَارِعُوا
إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَاْلأَرْضُ
أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ .
الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّآءِ وَالضَّرَّآءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ
وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu
dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk
orang-orang yang bertaqwa,
(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya),
baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan
memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
Poin
yang ingin khotib sampaikan dari ayat di atas adalah bahwa ada 3 tingkatan
manusia dalam memberikan maaf kepada orang lain: pertama, al-kadziminal
ghaidzho, menahan amarah, pada tingkatan ini manusia berusaha menahan
amarahnya meskipun masih ada bekas luka dihatinya, masih tersimpan dendam
dihatinya, akan tetapi dia berusaha untuk tidak memperturutkan kata hatinya
tersebut. Kedua, al-‘afiina aninnaas, memaafkan (kesalahan) orang lain,
pada tingkatan ini dia berusaha menghapus bekas luka atau dendam yang ada dalam
hatinya, tidak lagi tersisa kesalahan orang lain menempel pada hatinya, ia
sudah memaafkannya. Namun pada tingkatan ini boleh jadi kita masih mengabaikan
kontak hubungan, tidak saling bersinggungan kembali. Ada tingkatan ketiga yang
lebih tinggi lagi dalam kontek ayat ini, yaitu al-Muhsinin, yaitu orang
yang tidak hanya mampu menahan amarahnya, tidak hanya dapat menghapus luka dan
dendam di hatinya, akan tetapi ia dapat berbuat baik kepada orang yang
melakukan kesalahan terhadap dirinya. Inilah yang dikatakan Allah; waAllahu
yuhibul muhsinin, Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
Jamaah
Sholat Jum’at yang berbahagia
Bukan
perkara mudah kita mampu menahan marah kita terhadap orang yang berbuat salah
kepada kita kemudian kita hapuskan luka
di hati kita, seraya menutup lembaran lama membuka lembaran baru apalagi sampai
kita mampu berbuat baik kepadanya. Dibutuhkan tingkat keimanan yang tinggi
untuk dapat melakukan itu semua. Inilah derajat orang-orang yang bertaqwa
sebagaimana konteks ayat ini. Mudah-mudahan kita dapat memetik hikmah di hari
raya lebaran ini, semoga tahun ini akan lebih baik dari tahun kemarin, dan
semoga kita akan dipertemukan dengan Ramadhan dan Hari raya di tahun mendatang.
Amin ya Rabbal alamin.
0 komentar:
Post a Comment