Isi Khutbah
Khotib ingin
mengawali khutbah ini dengan penggalan bait puisi yang digubah oleh ulama sufi
dari Sekarjalak Pati, K.H. Muhammad Zuhri :
Jika kata-kata punya sayap
Diam punya darah dan syaraf
Bila bicara punya matahari
Diam lebih dalam dan misteri
Diam, bukan
sekedar kata yang mempunyai makna semantik, namun dalam terminologi sufi, diam
menjadi kata kunci pada tahap pendakian ruhani. Diam pada ungkapan puisi
tersebut di atas adalah dalam dan penuh misteri. Gambaran yang meniscayakan
adanya sesuatu yang tersembunyi, dan sesuatu yang tersembunyi biasanya akan
selalu bernilai tinggi, seperti mutiara yang tersembunyi di dasar samudera.
Diam itu emas, bicara itu perak, demikian Luqman berpesan kepada putranya.
Diam menjadi
bagian dari tirakat bagi penempuh-penempuh jalan ruhani. Dan puasa pada
esensinya adalah diam; berhenti makan, berhenti minum, berhenti bicara yang tak
berguna, berhenti melakukan hal-hal yang tak berfaedah. Demikian juga pada
wukuf, yang merupakan salah satu rukun dan puncak ibadah haji, diam mengambil
bagian yang besar pada ritual tersebut. Pada puasa atau pada wukuf, diam bukan
bermakna pasif atau fatalis, tapi diam yang mempersiapkan energi besar untuk
sebuah perubahan besar pada diri orang mukmin, dari destruktif menjadi
konstruktif, dari tentatif menjadi kreatif.
Metode diam
bagi manusia sebenarnya metode ilahi agar manusia melakukan transformasi diri.
Demikian juga bagi makhluk Allah yang lainnya seperti hewan, metode diam juga
harus ditempuh untuk kelangsungan hidupnya dan agar tetap lestari. Ulat, dia
harus berdiam diri sejenak menjadi kepompong untuk mencapai kehidupan baru
menjadi kupu-kupu. Induk ayam harus mengeram (berdiam) selama 21 hari untuk
melahirkan generasi barunya. Dan ular, harus bertapa untuk meremajakan
kulitnya, dan menemukan kembali elastisitasnya dalam bergerak.
Jamaah
sholat Jum’at yang berbahagia
Nabi Saw, para
ulama terkemuka banyak memberikan tuntunan dengan diam sebagai jalan
keselamatan dibanding ucapan lisan yang sering kali mengelincirkan. Nabi Saw bersabda : "Keselamatan
itu ada pada sepuluh bagian, sembilannya ada pada diam dan yang satunya
menghindari dari kebanyakan manusia". Dalam hadits lain Nabi Saw
menegaskan “ Sesungguhnya kebanyakan dosa anak Adam berada pada lidahnya “
(HR. Ath Thabarani, Ibnu Abi Dunya dan Al Baihaqi). Demikian
pula Al Imam Al Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin berkata
: “ Ketahuilah bahwa lidah bahayanya
sangat besar, sedikit orang yang selamat darinya, kecuali dgn banyak diam “.
Demikian
para ulama, para mukmin-mukmin terkemuka memilih diam sebagai pilihan agar
terhindar dari bahaya, selamat dunia akhirat, menjadikan bicara penuh kehati-hatian, selektif dalam memilih
kata karena akibatnya yang akan ditimbulkannya amat luas dengan ucapan yang
salah. Sebagaimana ulama besar Hasan al-Basri memberikan tuntunan dalam
berbicara : “ Sesungguhnya lidah orang mukmin
berada dibelakang hatinya, apabila ingin berbicara tentang sesuatu maka dia
merenungkan dengan hatinya terlebih dahulu, kemudian lidahnya menunaikannya. "Sedangkan
lidah orang munafik berada di depan hatinya, apabila menginginkan sesuatu maka
dia mengutamakan lidahnya daripada memikirkan dulu dengan hatinya.
Jamaah
sholat Jum’at yang berbahagia
Dalam halnya
memilih mana yang lebih baik, diam atau bicara, maka khotib menyimpulkan dari
beberapa hadits Nabi saw, kapan atau bilamana harus diam dan kapan atau
bilamana harus bicara? Ada tiga situasi dimana kita dituntut untuk bicara dari
pada diam, tanpa meninggalkan kesan sedikitpun bahwa bicara lebih baik dari pada
diam. Diam tetap menjadi pilihan yang
anggun bagi para penempuh jalan suci. tiga situasi tersebut antara lain :
1. Kita dituntut bicara untuk
mengingat (berzikir) kepada Allah.
قال
صلي اللة عليه وسلم: أصل الايمان السكوت الا عن ذكر الله تعلئ
‘Asal
iman itu adalah diam, kecuali berzikir kepada Allah swt’. Dalam hadits ini
dapat kita pahami bahwa bicara selain untuk keperluan mengingat Allah adalah
bathil, dan bicara dalam konteks ini diharuskan.
2. Kita dituntut bicara untuk
mengatakan hal-hal yang mengandung kebaikan. Amar Ma’ruf- nahyi mungkar
termasuk dalam katagori ini, Hadits Nabi saw:
قال
صلي اللة عليه وسلم:فليقل خيرا او ليصمت
‘Berkatalah
yang baik atau lebih baik diam’. Kita senantiasa diharuskan untuk berbicara
hal-hal yang baik atau yang mengandung kebajikan. Kalau kita tidak mampu untuk
berbicara yang baik, maka jangan paksakan untuk berbicara yang tak berfaedah.
Maka diam lebih baik dari pada berbicara yang tidak mendatangkan manfaat.
3. Kita dituntut bicara dalam
rangka belajar dan mengajarkan.
قال صلي اللة عليه وسلم: سكوت العالم شين وكلامه زين ,
و كلامه الجاهل شين وسكوته زين
‘Diamnya orang alim adalah jelek, dan
perkataannya adalah bagus, sedang perkataan orang jahil adalah jelek dan
diamnya adalah bagus’.
Bagi orang jahil, diam akan lebih menyelamatkan dari pada berbicara salah.
Dalam konteks ini, mencegah maksiat lebih baik dari pada mengerjakan ketaatan.
Sedangkan bagi orang alim, maka bicara lebih baik dari pada diam karena
manfaatnya yang luas.
Jamaah sholat jum’at yang berbahagia
Semoga khutbah ini dapat memberikan
manfaat untuk kita semua dan kita termasuk orang-orang yang selamat dengan
menjaga dan mempergunakan lisan kita sebagaimana yang diajarkan Nabi Saw.
Amin ya rabbal alamin.
0 komentar:
Post a Comment