Isi Khutbah
Masyarakat jahiliyah ketika
Muhammad lahir terperangkap dalam supremasi kesukuan yang sungguh berlebihan,
garis keturunan yang amat diagungkan, penistaan terhadap kaum wanita, bayi
wanita dikubur hidup-hidup, lebarnya jurang pemisah antara kaya dan miskin,
antara pembesar dan para budak. Muhammad lahir membawa misi terciptanya
persamaan antar sesama manusia, persamaan hak dan kewajibannya di sisi Allah
swt. Pelan tapi pasti perbudakan dihapuskan. Muhammad hendak membawa terbang
tinggi ke angkasa derajat martabat kemanusiaan semua individu. Tidak ada yang
saling merendahkan satu sama lain karena perbedaan latar belakangnya. Harkat
dan martabat seseorang tidak diukur dari pangkat, kedudukan dan kekayaannya
melainkan sejauhmana ia menjunjung tinggi dan menjalankan prinsip-prinsip moral
dan etika.
Maka pada awal tugas dakwahnya, kebanyakan
pengikut Muhammad adalah mereka yang tergolong kaum yang lemah;anak-anak, kaum
wanita, para budak, dan para kaum papa. Hal tersebut mencerminkan bahwa
Muhammad tidak memandang kedudukan dan kemewahan menjadi ukuran tinggi martabat
seseorang. Muhammad tidak memilah-milah kawan, tidak memilih-milih target dan
sasaran dakwahnya. Muhammad merangkul semua kalangan, terutama yang tergolong
lemah saat itu.
Jamaah sholat Jum’at yang
dirahmati Allah
Muhammad adalah sebagai sosok
yang amat bersahaja, menjadikan kemiskinan sebagai kebanggannya, yang
senantiasa berdoa agar tetap terjaga dalam kemiskinan, memohon terpelihara
bersama orang-orang miskin, dan mati dalam keadaan miskin. Dialah sang Nabi
yang penghargaannya terhadap kaum yang lemah amat mengesankan. Rasa
kemanusiaannya merengkuh hingga ke lorong-lorong nasib manusia yang paling
mengenaskan. “aku dan seorang wanita yang kulit dan pipinya telah hitam karena
terbakar matahari akan berdekatan satu sama lain di akhirat seperti dua jariku;
dan dia adalah seorang janda tangguh, yang kulit dan pipinya menghitam karena
menghidupi keluarganya’, begitu dalam sabdanya.
Bukan Nabi benci terhadap
kekayaan, namun kekayaan yang merupakan buah dari kejujuran, dijalankan dengan
benar akan mendatangkan keberkahan. “barang siapa menginginkan dunia dan
kekayaannya dengan cara yang benar, dalam rangka menjauhkan dirinya dari
meminta, dan untuk menghidupi keluarganya, dan untuk berbuat baik kepada tetangganya,
akan datang kepada Tuhan dengan wajah yang cerah seterang rembulan di hari
keempat belas bulan purnama”. Begitulah cara Nabi memandang dan menempatkan
harkat martabat manusia karena kemuliaannya di sisi Tuhan.
Berbanding terbalik dengan
realitas saat ini dimana kita masih membedakan kedudukan manusia dalam cara
pandang materialistis. Ukuran seperti asal-usul, latar belakang keluarga,
jabatan, profesi dan kepintaran seseorang masih jadi faktor kehormatan dan
kemuliaan seseorang. Kasarnya, harkat martabat seseorang masih kita pandang
dari segi bibit, bebet dan bobotnya
seseorang. Seperti halnya pribahasa mengatakan ada gula, ada semuat; kebanyakan
orang kaya atau yang terpandang karena jabatannya sering dikerumuni banyak
orang, selalu menjadi pusat perhatian bahkan dielu-elukan. Sementara si miskin dibiarkan
tersisih dalam kancah pergaulan.
Beragam upaya pun dilakukan untuk
meningkatkan status kedudukan di mata manusia; pencitraan, rekayasa, manipulasi
sampai korupsi adalah upaya untuk meraih kekayaan dan kehormatan semu belaka.
Ratusan juta dikeluarkan hanya untuk menjadi seorang kepala desa, milyaran
bahkan puluhan milyar dipertaruhkan untuk menjadi seorang anggota dewan
perwakilan rakyat dan seterusnya. Bayangkan, seorang calon pejabat publik yang
sejatinya akan menjadi acuan moral rakyatnya melakukan tindakan yang jauh dari
kesan bermartabat. Jabatan yang sejatinya merupakan amanat Tuhan, diperebutkan
untuk meningkatkan ‘derajat’ dimata manusia. Jabatan menjadi sesuatu yang
diperjualbelikan bukan yang harus ditempati oleh orang yang mempunyai kecakapan
dan integritas tinggi
Yang paling amat memprihatinkan,
menyedihkan sekaligus menggelikan, di Surabaya, salah satu rumah sakit jiwa telah
menyiapkan tempat khusus untuk para calon anggota legislatif (caleg) yang
depresi, stress bahkan gila karena tidak jadi terpilih menjadi anggota dewan,
mengingat fenomena ini memang benar terjadi pada periode sebelumnya. Bisa
dibayangkan, jabatan publik yang masyarakat bergantung pelayanan darinya, harus
diisi oleh orang-orang yang bermasalah secara mental. Maka jabatan atau
kekuasaan tidak dijalankan berdasarkan amanah untuk mengabdi, melainkan
dijadikan sarana untuk mengais ‘rezeki’, menumpuk pundi-pundi untuk diri
sendiri, bahkan melanggengkan sebuah dinasti.
Jamaah sholat Jum’at yang
dirahmati Allah
Kekuasaan, kekayaan manusia tidak
akan langgeng. Sesaat, seketika, Allah akan mencabut kekuasaan dan kekayaan itu
kapanpun Ia mau. Hanya kemuliaan seseoranglah yang akan tetap hidup menemani
manusia dalam hidup dunia hingga di akhirat nanti. Sebagai penutup khutbah ini,
baik kita simak firman Allah swt
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكِ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَآءُ
وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمَّن تَشَآءُ وَتُعِزُّ مَن تَشَآءُ وَتُذِلُّ مَن تَشَآءُ
بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرُ
Katakanlah:"Wahai
Rabb Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kekuasaan kepada orang yang Engkau
kehendaki dan engkau cabut kekuasaan dari orang yang engkau kehendaki. Engkau
muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau
kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa
atas segala sesuatu.
0 komentar:
Post a Comment