Pada khutbah Jum'at kali ini, khotib ingin menyampaikan tema bahwa jihad akbar adalah jihad melawan nafsu tirani. Sepanjang
perjalanana pulang ke Madinah sesudah kemenangan atas Mekkah dan Hunayn, Nabi
menuturkan kepada beberapa sahabatnya, “kita kembali dari jihad kecil menuju
jihad yang lebih besar”. Salah seorang bertanya, “apa jihad yang lebih besar
itu, wahai Rasulullah?”, beliau menjawab, “jihad melawan hawa nafsu.”
Nafsu
atau nafs dalam bahasa arab lebih umum digunakan sebagai “diri” yakni
dalam penggunaan bahasa sehari-hari, seperti diriku dan dirimu. Ada juga yang
menterjemahkan nafs sebagai “jiwa” atau “ego”. Nafs berasal dari
interaksi roh dan jasad. Ketika roh memasuki jasad, ia terbuang dari asalnya
yang bersifat immateri, kemudian nafs pun mulai terbentuk. Karena nafs
berakar di dalam jasad dan roh, ia mencakup kecenderungan material dan
spiritual.
Istilah
jihad yang dikemukakan Rasulullah dalam menundukan nafs mengisyaratkan akan
selalu ada pertempuran dalam diri manusia antara dua kecenderungan, kecenderungan
kepada kejahatan dan kecenderungan kepada kebaikan. Kecenderungan kepada
kejahatan inilah yang dinamakan dengan nafsu tirani, nafsu ammarah,
nafsu yang selalu memerintahkan kepada perbuatan-perbuatan buruk; penumpukan
harta kekayaan, kekuatan, kekuasaan, kepuasan ego dengan menghalalkan segala
cara dan pelampiasan kepuasan seksual dengan cara yang tidak halal, memilih
partner seks mereka secara serampangan tidak berdasarkan syariat yang
dibenarkan agama maupun moral.
Celakanya
lagi, nafsu tirani ini pandai bersembunyi dari kesadaran, ia bekerja diluar
kesadaran kita. Ia sepertinya berbicara dengan suara kita sendiri dan
mengungkapkan hasrat kita yang terdalam, sehingga kita sering tidak
menyadarinya apalagi melawannya. Kita kerap merasionalisasi perbuatan buruk
kita sendiri, menganggap benar dan pantas apa yang sudah kita lakukan. Nafsu
tirani mendominasi kita tanpa kita ketahui. Inilah mengapa begitu banyak orang
yang pada sebagian besar masa hidupnya bertindak di bawah dominasi diri
tiraninya.
Dalam
hal mengukur perbuatan kita apakah termasuk kabaikan atau tirani, sebenarnya
konsepnya sederhana, berpijak pada perkataan Nabi tentang perbuatan buruk;
perbuatan yang engkau malu orang lain melihatnya, itulah keburukan. Ketika kita
berada pada jalan yang benar mengapa kita harus takut dan merasa malu kepada manusia.
Tahap selanjutnya kita akan mengetahui betapa intensitas kehadiran Tuhan pada
diri kita akan menjadi ukuran seberapa besar perbuatan itu menjadi baik di mata
Tuhan.
Jamaah
Sholat Jum’at yang berbahagia
Sementara
kecenderungan kebaikan yang ada pada diri manusia itulah nafsu yang sudah
bertransformasi, dalam bahasa al-Qur’an nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhan.
وَمَآأُبَرِّئُ
نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلاَّ مَارَحِمَ رَبِّي إِنَّ
رَبِّي غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Dan
aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu
selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabbku.
Sesungguhnya Rabbku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 12:53)
Dalam khazanah
sufi, nafs itu sendiri mempunyai tingkatannya. Tingkatan nafsu yang
paling rendah adalah nafsu Tirani atau atau nafsu ammarah. Nafsu inilah yang
senantiasa memerintahkan manusia untuk berbuat jahat, sebelum akhirnya manusia
mulai tumbuh kesadaran dalam dirinya. Pada saat manusaia berada pada tahap awal
dalam bertransformasi.
وَلآأُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَة dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat
menyesali (dirinya sendiri). (QS. 75:2).
Jamaah Sholat Jum’at yang
dirahmati Allah
Lalu bagaimana kita dapat belajar
mengendalikan diri kita dan meninggalkan nafsu tirani ini? Bagaimana kita dapat
mengubah sifat negatif kita menjadi sifat positif; contohnya mengubah kekikiran
menjadi kedermawanan; kemarahan menjadi pengertian, dan keserakahan menjadi
ketidakterikatan. Selain itu kita juga harus menyucikan dan membuka hati kita.
Salah satu cara menyucikan hati
kita adalah melalui praktik melepaskan diri dari dunia dan mengingat Tuhan,
yang akan memancarkan cahaya hati dan membuat kita peka. Hati juga terbuka oleh
kebaikan dan pengabdian. Syekh Muzaffer sering menuturkan bahwa setiap senyuman
dan kata-kata yang baik akan memperlembut hati, tapi setiap kata maupun
tindakan keji akan memperkeras hati. Ia menjelaskan bahwa berperilaku baik
adalah sebuah perjuangan.
Maka konteks ungkapan Nabi bahwa
jihad terbesar adalah melawan hawa nafsu menemukan relevansinya pada perjuangan
dan pengorbanan kita dalam perbuat kebaikan secara terus menerus. Segenap
kebaikan yang kita lakukan akan semakin membuka hati, melembutkan hati, dan
menentramkan hati. Hati adalah cermin lahi, pada saat sinar ketuhanan semakin
terang terpantul dari cermin hati, maka semakin kita akan memperoleh nafsu yang
dirahmati Tuhan. Dan pada akhirnya kita akan termasuk orang yang digambarkan
Al-Qur’an mempunyai nafs, diri, atau jiwa yang tenang.
يَاأَيَّتُهَا
النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ . ارْجِعِي إِلىَ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَةً . فَادْخُلِي فيِ
عِبَادِي . وَادْخُلِي جَنَّتِي
Hai jiwa yang tenang. Kembalilah
kepada Rabbmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya. Maka masuklah ke dalam
jama'ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku. (QS. 89:27-30)
0 komentar:
Post a Comment